Selasa, 10 Juni 2014

Saat yang lain mulai melirik, kita mulai beranjak pergi

Saat yang lain mulai melirik, kita mulai beranjak pergi
Oleh : Melanti Rizkiyah

Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa

Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala

Melambai lambai
nyiur di pantai
Berbisik bisik raja Kelana

Memuja pulau nan indah permai
Tanah Airku Indonesia

Apa yang tidak dimiliki oleh negara yang bernama Indonesia? Dari lirik lagu rayuan pulau kelapa tersebut bisa kita lihat betapa makmur dan subur negeri ini. Indonesia, negara dengan seribu kepulauan, keanekaragaman hayati, sumber daya alam yang melimpah, serta kebudayaan yang dimiliki pada tiap-tiap komunitas masyarakatnya. Terbentang dari Sabang hingga Merauke kebudayaan itu bisa kita temukan tumbuh subur didalamnya. Budaya yang bukan hanya berwujud benda seperti artefak, candi-candi, stupa, bisa kita jumpai pada tiap masyarakat kita. Macam-macam tarian yang enerjik dan dinamis, mulai dari tari jaipong, tari pendhet, tari kecak, tari serimpi, tari piring, tari gambyong, tari saman, dan masih banyak lagi tarian yang merupakan hak milik bangsa Indonesia. Sistem pemerintahan tradisionil, demokratis mengakar kuat pada pola masyarakat kita, seperti banjar-banjar yang ada di Bali, pada setiap suku, ada didalamnya sistem pemerintahan yang murni dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Budaya berkaitan erat dengan cipta, rasa, karsa manusia. Kompleksitas kebudayaan Indonesia, menunjukkan bahwa daya kreatifitas manusia Indonesia itu sangatlah tinggi, tentang bagaimana manusia Indonesia menciptakan budaya itu sendiri, hingga tingkat keberagamannya. Kita yang notabene disebut-sebut bangsa timur oleh bangsa barat, mempunyai pandangan tersendiri terhadap kebudayaan. Kebudayaan oleh banga timur diposisikan istimewa. Bangsa timur dikenal lebih berbudaya, bisa kita buktikan saat para turis-turis mancanegara atau bahka melihat lebih kebelakang lagi pada waktu para penjajah Belanda datang ke Indonesia, bangsa ini begitu ramah menyambut mereka, namun kemudian oleh mereka hal itu dimanfaatkan untuk tujuan yang begitu tidak terpuji. Pada saat sekarang ini, juga bisa kita lihat para turis yang mengunjungi tempat-tempat wisata di Indonesia, mereka begitu tertarik kepada panorama alam Indonesia yang begitu eksotis, keramah-tamahan orang-orang Indonesia, keberagaman budaya yang ada disini.
Namun lambat laun, seperti batu karang dipantai, lama kelamaan akan terkikis juga oleh deburan ombak yang menerjang batu-batu karang yang tampak begitu kokoh. Begitu pula dengan kebudayaan kita, keramahtamahan yang dimiliki orang-orang pribumi, adat istiadat, sampai bisa kita sebut sebagai 7 unsur kebudayaan ( Koentjaraningrat ) ikut mengalami perubahan. Pada satu sisi perubahan itu mengarah pada arah poistif, namun pada sisi lain perubahan itu menuju kepada arah yang negatif. Sebenarnya hal itu wajar, karena salah satu sifat dari kebudayaan itu adalah dinamis, maksudnya adalah akan berubah seiring bergulirnya waktu.
Hal yang perlu diantisipasi disini adalah kita yang berbudaya harus mampu mengendalikan agar perubahan itu tidak mengarah pada degradasi, keterpurukan, kemunduran peradaban kebudayaan. Kenyataan yang bisa kita lihat, sekarang masyarakat kita lebih senang mengadopsi budaya-budaya dari luar yang belum tentu cocok diterapkan disini. Masyarakat kita lebih senang memakai produk-produk, hasil kebudayaan mereka, tanpa menyaringnya terlebih dahulu. Orang-orang lebih suka menari gangnam style, shuffle dance, harlem shake dibanding harus mempelajari tarian-tarian negeri sendiri. Berbagai alasan muncul ditengah-tengah masyarakat kita, ada yang mengatakan bahwa tari-tarian yang kita miliki sudah usang, kuno. Ada pula yang mengatakan bahwa untuk mempelajarinya begitu rumit, dibandingkan dengan tari-tarian yang berasal dari barat. Tari-tarian yang kita miliki kurang enerjik. Sebenarnya bila kita kreatif dalam mengolahnya, tarian-tarian yang kita miliki bisa kita modifikasi, dijadikan sesuatu yang lebih menarik lagi tanpa menghilangkan unsur-unsur yang sudah ada, saya yakin akan membuat mereka lebih takjub dan terpesona.
Permasalahan masyarakat kita yang selalu merasa bahwa apa yang datang dari luar itu lebih baik dari apa yang sudah kita miliki merupakan sisa penjajahan komunisme yang sudah beratus tahun berada di Indonesia., mereka menanamkan keyakinan kepada masyarakat bahwa bangsa penjajah itu lebih baik, lebih tinggi derajatnya dari kaum pribumi. Para penjajah melakukan pembodohan kepada masyarakat kita, agar masyarakat kita dapat dijajah dalam kurun waktu yang lama. Akhirnya pemikiran yang sudah mengakar kuat pada masyarakat kita sedikit banyak menurun pada generasi berikutnya. Generasi berikutnya juga bersikap seperti itu, mengagungkan kebudayaan dari luar, terlebih lagi yang berasal dari Eropa.
Disaat para turis berkunjung ke Indonesia untuk melihat keberagaman kebudayaan kita, kita justru mulai beralih kiblat pada kebudayaan bangsa barat. Saat para mahasiswa luar negeri datang kesini untuk belajar budaya, kita malah merasa bahwa hal itu merupakan sesuatu yang jauh tertinggal. Pada akhirnya, siapa yang lebih bangga memakai budaya kita? Para orang asing akan merasa begitu bangga disaat mereka bisa menari, memainkan alat musik, atau budaya lain yang kita miliki, mereka juga mempunyai motivasi tinggi dalam mempelajari kebudayaan kita, mereka tidak pernah merasa jengah dalam mempelajari budaya kita.

            Kita tidak menyadari bahwa kebudayaan kita sedang “dicuri” oleh mereka dengan menawarkan untuk bertukar budaya dengan mereka. Kita dibuat silau oleh kebudayaan mereka. Tidak menutup kemungkinan, suatu hari nanti kita belajar budaya kita sendiri dari mereka, bahkan sekarang ini sudah ada buktinya, jenjang pendidikan S.3 untuk bahasa Jawa justru berada di Belanda, karena disana banyak terdapat peninggalan atau teks-teks yang dimuseumkan disana, terdapat lebih banyak sumber belajar bahasa Jawa di Belanda dibandingkan di tanah Jawa sendiri. Hal ini sangat memprihatinkan dan sangat konyol, budaya itu berasal dari disini, namun mengapa kita harus mempelajarinya dari orang lain?  Kita dituntut untuk bercermin, bukan bertujuan untuk bersolek namun untuk melihat apa yang telah terjadi pada diri kita. Apakah nantinya kita tidak akan menyesal bila budaya kita diboyong secara keseluruhan oleh mereka, dan kita diwarisi kebudayaan mereka yang belum tentu sarat akan nilai-nilai yang luhur yang terkandung dalam kebudayaan kita. Sekali lagi mereka tidak bisa kita salahkan, justru kita harus kagum kepada mereka mengenai semangat belajar mereka. Namun jangan biarkan mereka mengeksplorasi secara besar-besaran terhadap kebudayaan kita dengan cara kita lebih memperdalam belajar budaya kita sendiri. Sehingga kita bisa mngfilter atau menyaring bila ada yang ingin belajar budaya kita, dengan tidak memberikan secara mentah, keseluruhan apa yang kita miliki. Mereka boleh saja bisa menguasai kulitnya, namun jangan biarkan mereka menguasai intinya.

Maca jaman

Maca jaman
 dening : Melanti Rizkiyah

Jaman-jaman pungkasan
Wong-wong sarwa kedanan
Jaman-jaman pungkasan
Ora ngedan ora keduman
Jaman-jaman pungkasan
Darat-darat wiwit keleban
Jaman-jaman pungkasan
Prawan-prawan padha babaran
Jaman-jaman pungkasan
Urip bebrayan padha cokot-cokotan
Jaman-jaman pungkasan
Daging babi dianggep sapi
Jaman-jaman pungkasan
Agama kelangan aji
Jaman-jaman pungkasan
Menungsa kelangan ati
Jaman-jaman pungkasan
Wong keblinger mbalik mangetan
Jaman-jaman pungkasan
Suling pati enggal kaleksanan





Durung kober dakgurit

Durung kober dakgurit
dening : Melanti Rizkiyah

Durung kober dakgurit
Kahanan brubahing negara
Durung kober dakgurit
Kutha gedhe keleban runtah
Durung kober dakgurit
Bocah cilong ora bisa mangan
Durung kober dakgurit
Panguwasa brubah  dadi lintah
Durung kober dakgurit
Anak pejabat nggiles rakyat
Durung kober dakgurit
Wong mlarat kakehan srakat
Durung kober dakgurit

Aku ora kuwat

Tanpa apa


Tanpa apa
dening : Melanti Rizkiyah

anta tanpa rasa
ilang tanpa ujud
ijen tanpa kanca
ligan tanpa wrangka
selak tanpa rumangsa
legena tanpa sandhangan
tetep tanpa owah
wutuh tanpa suda
dadakan tanpa antan-antan
gabug tanpa isi
grumpung tanpa irung
tukung tanpa buntut
prucul tanpa sungu
 blarah tanpa aturan
cuthel tanpa terusan


Gambar tanpa Pigura

Gambar tanpa pigura
dening : Melanti Rizkiyah

Gambar lawas sakeh lebu
Kapasang tanpa pigura
Wong wadon ayu satengah ngguyu
Ana sajroning
Gambar lawas sakeh lebu
Kapasang tanpa pigura
Abadi tumemplek
ana tembok ruwang tamu
gambar lawas sakeh lebu
kapasang tanpa pigura kae
ngendikane simbah iku sibu
lawas sowan maring Gusti
gambar lawas sakeh lebu
kapasang tanpa pigura

dadi pepagutan netra

Aku nggurit ing banyu

Aku nggurit ing banyu
dening : Melanti Rizkiyah

Sawangen gaweku
Nalika aku nggurit ing banyu
Wong-wong sarwa ngguyu
Sawangen gaweku
Nalika aku nggurit ing banyu

Akal pikir ora ketemu

Indonesia

Indonesia
dening : Melanti Rizkiyah

Indonesia misuwur
 Cinarita bab luhur makmure
Indonesia misuwur
Cinarita bab ayem tentreme
Indonesia misuwur
Pamong prajane tansah nyawiji
Indonesia misuwur
Lemah subur gembur
Indonesia misuwur
Ulam teka tanpa jaring
Indonesia misuwur
Papan adhem tanpa prahara
Indonesia misuwur
Lemah dikeruk, emas saloka
Nanging ana kene
Ana papan pinggiring praja
Kabeh mau miturutku amung pulasan
Sabab
Papanku papan amba tanpa gedheg
Lampuku lampu padhang lintang johar
Kemulku akemul pedhut kandel lingsir wengi
Kaya-kaya crita mau
Tumprap Indonesia ing papan liya
Nanging ana ngendi papane?

Aku dhewe ora ngerti

Babu manca

Babu manca
dening : Melanti Rizkiyah

Adoh panggon saka asalku
Tanpa kadang tanpa sanak
Dadi babu golek kamulyan
Dadi babu
Babu manca
Babu bodho ora bisa apa-apa
Babu manca
Dianggep dudu menungsa
Babu manca
Urip tansah kasiya-siya
Babu manca
Golek dhuwit
Totohan pati
Babu manca
Ora dianggep marang negara
Babu manca

Mesakna

Grobag Runtah

 Grobag Runtah
dening : Melanti Rizkiyah

Sadina-dina
Uripku
Amung ndhorong grobag
Nanging dudu grobag
 isi cacahan daging bunder
dudu grobag
isi ronde
dudu grobag
isi bubur lan sakwarnane
grobagku grobag tuwa
grobagku grobak runtah
ambu banger tansah semriwing
kewan laler tansah ngiter
sok-sok malah ana uler singgat
ugat-uget ana grobagku
kanggoku
kabeh mau ora dadi ngapa
tinimbang dadi pejabat
kadya uler singgat ana grobag
mbrakoti daginge wong papa


Ngoyak Layangan

Ngoyak Layangan
dening : Melanti Rizkiyah

Cahyane srengenge awan iki
Banget ngenthak-ngenthak
Nanging bocah lanang cacah telu
Mlayu-mlayu ngawasi ndhuwur
Panguwasa angkasa
Kang kagawe saka dluwang
Nembe wae kaprajaya
Dening mungsuhe
Raga tanpa daya
Kagawa pasrah karo playune angin
Bocah lanang nomer telu
Kanthi langkah cekat-ceket
Nggayuh benang praja
Kasigeg playune raga tanpa daya
Tandha juwara sayembara



Pasar Pahing


Pasar pahing
dening : Melanti Rizkiyah

Pedhut  klawu
Nggubeng sakupenge dhusun
Nadyan dina isih pajar
Nadyan hawa adhem njalari asrep
Pawongan kemulan sarung
Padha mlaku iring-iringan
Bebarengan
Tumuju pasar pahing
Ana pucuking  dhusun
Wis rame pawongan
Wis rame dagangan
Samubarang samapta
Pasar kang binukak seminggu pisan

Dadi tujuning utama

Keduwung

Keduwung
dening : Melanti Rizkiyah

          Sumitra..rungokna apa kang dadi sambatku
          Nalika semana
          Cilikanku gembeng
          Bapak  biyen duka
          Merga aku ora gelem sinau
          Biyung nangis nggugu mikiri aku
          Simbah wis ora pagah
          Saiki aku susah sumitra
          Urip tanpa rasa bungah
          Urip tanpa panggayuh
          Sumitraku..nalika awakmu lungkrah
          nggayut lintang
          sawanga aku ana mburi
          kamangka awakmu  bakal  wurung
          ngandheg jangkahmu
          Terusa mlaku
          Tanpa kendhat

          Tanpa sumelang

Segara regedan

Segara regedan
dening : Melanti Rizkiyah

          Sing disawang amung regedan
          Urip manungsa sansaya ngedan
          Karepe sing sarwa instan
          Sing ditemoni amung runtah kagawa ombak
          Wungkus-wungkus plastik tanpa itungan
          Pating slerah ana pinggiring segara
          Segara segara tanpa rupa
          Merga segara, segara regedan
         



Aja diparengake

Aja diparengake
dening : Melanti Rizkiyah

          Aja diparengake kupu nangis
          Aja diparengake manuk-manuk ndhekuku
          Aja diparengake ilining banyu asat
          Aja diparengake angin ngandheg playune
          Aja diparengake lemah gundul tanpa tanduran
          Aja diparengake tangis bayi pecah
          Mbeset awang-awang
          Aja diparengake wong tuwa kelangan sembada
          Aja diparengake jerit wong luwe kaprungu
          Aja diparengake  wong lara kentekan obat
          Aja diparengake wong mlarat
          Ora kajatah papan
          Aja diparengake wong papa
          Ora kasambat
          Aja diparengake wong mati ora karumat
          Aja diparengake lintah nyedhot getihing lembu
         


Lingsir Wetan

Lingsir wetan
dening : Melanti Rizkiyah

                   Wayahe lingsir wetan
                   Biruning mega katon pepak
                   Cahyaning putih wis kumlebat
                   Surya metu saka andhongane
                   Tetesing embun wiwit sirna
Manuk prenjak suka pirena
                   Pating cruit
                   Pitik cilik gorek ing lemah
                   Wayahe lingsir wetan
                   Ayo padha tumandang
                   Ngalap berkahing kang Gusti Maha Pesthi


Pagah

Pagah
dening : Melanti Rizkiyah

                   Tansah pagah
                   Nadyan dalan sing dak liwati ora gampang
                   Tansah pagah
                   Nadyan ing tengahing aspal tanpa sandhal
                   Tansah pagah
                   Nadyan eri mbeset kulit
                   Tansah pagah
                   Nadyan tumetesing luh sansaya deres
                   Tansah pagah
                   Nadyan jangkah iki keraya-raya
                   Tansah pagah
                   Nadyan ati keranta-ranta
                   Tansah pagah
                   Tansah percaya
                   Awak iki isih duwe Gusti
         


Pratandha

Pratandha
dening : Melanti Rizkiyah

                   Sanyatane pratandhane wis teka
                   Nalika rikma manglih ing warna
                   Nalika kulit kelangan serete
                   Nalika waja wiwit suda
                   Nalika raga banget ringkihe
                   Sejatine iku pratandha
                   Srengenge bakal mangslup
                   Dina bakal sirna
                   Peteng kang bakal nggubet
                   Kanggo mripat kang wis katutup
                   

Wengi

          Wengi
dening : Melanti Rizkiyah
         
                    Wengi iki wengiku
                   Nalikane pawongan wis padha turu
                   Wengi iki duweku
                   Nalika playune angin sansaya keprungu
                   Wengi iki amung kanggo aku
                   Nalika ana banyu sinuntak saka awang-awang
                   Gumrujug
                   Gumleger
                   Kodhok bangkong jejingklakan bungah
Manuk-manuk tutupan godhong
Wengi iki
                   Wengi anyep  nentremke ati

                   Nalikane eling marang Sang Hyang Widhi

Kidung Katresnan

Kidung katresnan
dening : Melanti Rizkiyah

Lumantar ungeling  kidung katresnan
Ingkang manjing ing penggalih
Angemba busananing prameswari
Tinon saking mandrawa
Galebyar pating calorot kadya kilat asesiring
Arum angambar-ambar gandhaning burat sari
Tumapaking nut tumataning babut prangwedani
Lon-lonan rerepeh-rerepeh
Satemah dadya sumawur kang sekar setaman
Rasa bungah nyusup ngebaki sela-selaning galih
Nalika dhaup karo pepujaning ati
Tri prakara kang tan kena kapurba

Dening panguwasaning manungsa