Saat yang
lain mulai melirik, kita mulai beranjak pergi
Oleh :
Melanti Rizkiyah
Tanah airku
Indonesia
Negeri elok amat
kucinta
Tanah tumpah
darahku yang mulia
Yang kupuja
sepanjang masa
Tanah airku aman
dan makmur
Pulau kelapa
yang amat subur
Pulau melati
pujaan bangsa
Sejak dulu kala
Melambai lambai nyiur di pantai
Melambai lambai nyiur di pantai
Berbisik bisik raja Kelana
Memuja pulau nan indah permai
Tanah Airku Indonesia
Apa yang tidak dimiliki oleh negara yang bernama
Indonesia? Dari lirik lagu rayuan pulau kelapa tersebut bisa kita lihat betapa
makmur dan subur negeri ini. Indonesia, negara dengan seribu kepulauan,
keanekaragaman hayati, sumber daya alam yang melimpah, serta kebudayaan yang
dimiliki pada tiap-tiap komunitas masyarakatnya. Terbentang dari Sabang hingga
Merauke kebudayaan itu bisa kita temukan tumbuh subur didalamnya. Budaya yang
bukan hanya berwujud benda seperti artefak, candi-candi, stupa, bisa kita
jumpai pada tiap masyarakat kita. Macam-macam tarian yang enerjik dan dinamis,
mulai dari tari jaipong, tari pendhet, tari kecak, tari serimpi, tari piring,
tari gambyong, tari saman, dan masih banyak lagi tarian yang merupakan hak
milik bangsa Indonesia. Sistem pemerintahan tradisionil, demokratis mengakar
kuat pada pola masyarakat kita, seperti banjar-banjar yang ada di Bali, pada
setiap suku, ada didalamnya sistem pemerintahan yang murni dari rakyat, oleh
rakyat, untuk rakyat.
Budaya berkaitan erat dengan cipta, rasa, karsa
manusia. Kompleksitas kebudayaan Indonesia, menunjukkan bahwa daya kreatifitas
manusia Indonesia itu sangatlah tinggi, tentang bagaimana manusia Indonesia
menciptakan budaya itu sendiri, hingga tingkat keberagamannya. Kita yang
notabene disebut-sebut bangsa timur oleh bangsa barat, mempunyai pandangan
tersendiri terhadap kebudayaan. Kebudayaan oleh banga timur diposisikan
istimewa. Bangsa timur dikenal lebih berbudaya, bisa kita buktikan saat para
turis-turis mancanegara atau bahka melihat lebih kebelakang lagi pada waktu
para penjajah Belanda datang ke Indonesia, bangsa ini begitu ramah menyambut
mereka, namun kemudian oleh mereka hal itu dimanfaatkan untuk tujuan yang
begitu tidak terpuji. Pada saat sekarang ini, juga bisa kita lihat para turis
yang mengunjungi tempat-tempat wisata di Indonesia, mereka begitu tertarik
kepada panorama alam Indonesia yang begitu eksotis, keramah-tamahan orang-orang
Indonesia, keberagaman budaya yang ada disini.
Namun lambat laun, seperti batu karang dipantai, lama
kelamaan akan terkikis juga oleh deburan ombak yang menerjang batu-batu karang
yang tampak begitu kokoh. Begitu pula dengan kebudayaan kita, keramahtamahan
yang dimiliki orang-orang pribumi, adat istiadat, sampai bisa kita sebut
sebagai 7 unsur kebudayaan ( Koentjaraningrat ) ikut mengalami perubahan. Pada
satu sisi perubahan itu mengarah pada arah poistif, namun pada sisi lain
perubahan itu menuju kepada arah yang negatif. Sebenarnya hal itu wajar, karena
salah satu sifat dari kebudayaan itu adalah dinamis, maksudnya adalah akan
berubah seiring bergulirnya waktu.
Hal yang perlu diantisipasi disini adalah kita yang
berbudaya harus mampu mengendalikan agar perubahan itu tidak mengarah pada
degradasi, keterpurukan, kemunduran peradaban kebudayaan. Kenyataan yang bisa
kita lihat, sekarang masyarakat kita lebih senang mengadopsi budaya-budaya dari
luar yang belum tentu cocok diterapkan disini. Masyarakat kita lebih senang
memakai produk-produk, hasil kebudayaan mereka, tanpa menyaringnya terlebih
dahulu. Orang-orang lebih suka menari gangnam style, shuffle dance, harlem
shake dibanding harus mempelajari tarian-tarian negeri sendiri. Berbagai alasan
muncul ditengah-tengah masyarakat kita, ada yang mengatakan bahwa tari-tarian
yang kita miliki sudah usang, kuno. Ada pula yang mengatakan bahwa untuk
mempelajarinya begitu rumit, dibandingkan dengan tari-tarian yang berasal dari
barat. Tari-tarian yang kita miliki kurang enerjik. Sebenarnya bila kita
kreatif dalam mengolahnya, tarian-tarian yang kita miliki bisa kita modifikasi,
dijadikan sesuatu yang lebih menarik lagi tanpa menghilangkan unsur-unsur yang
sudah ada, saya yakin akan membuat mereka lebih takjub dan terpesona.
Permasalahan masyarakat kita yang selalu merasa bahwa
apa yang datang dari luar itu lebih baik dari apa yang sudah kita miliki
merupakan sisa penjajahan komunisme yang sudah beratus tahun berada di
Indonesia., mereka menanamkan keyakinan kepada masyarakat bahwa bangsa penjajah
itu lebih baik, lebih tinggi derajatnya dari kaum pribumi. Para penjajah
melakukan pembodohan kepada masyarakat kita, agar masyarakat kita dapat dijajah
dalam kurun waktu yang lama. Akhirnya pemikiran yang sudah mengakar kuat pada
masyarakat kita sedikit banyak menurun pada generasi berikutnya. Generasi
berikutnya juga bersikap seperti itu, mengagungkan kebudayaan dari luar,
terlebih lagi yang berasal dari Eropa.
Disaat para turis berkunjung ke Indonesia untuk
melihat keberagaman kebudayaan kita, kita justru mulai beralih kiblat pada
kebudayaan bangsa barat. Saat para mahasiswa luar negeri datang kesini untuk
belajar budaya, kita malah merasa bahwa hal itu merupakan sesuatu yang jauh
tertinggal. Pada akhirnya, siapa yang lebih bangga memakai budaya kita? Para
orang asing akan merasa begitu bangga disaat mereka bisa menari, memainkan alat
musik, atau budaya lain yang kita miliki, mereka juga mempunyai motivasi tinggi
dalam mempelajari kebudayaan kita, mereka tidak pernah merasa jengah dalam
mempelajari budaya kita.
Kita tidak menyadari bahwa
kebudayaan kita sedang “dicuri” oleh mereka dengan menawarkan untuk bertukar
budaya dengan mereka. Kita dibuat silau oleh kebudayaan mereka. Tidak menutup
kemungkinan, suatu hari nanti kita belajar budaya kita sendiri dari mereka,
bahkan sekarang ini sudah ada buktinya, jenjang pendidikan S.3 untuk bahasa
Jawa justru berada di Belanda, karena disana banyak terdapat peninggalan atau
teks-teks yang dimuseumkan disana, terdapat lebih banyak sumber belajar bahasa
Jawa di Belanda dibandingkan di tanah Jawa sendiri. Hal ini sangat
memprihatinkan dan sangat konyol, budaya itu berasal dari disini, namun mengapa
kita harus mempelajarinya dari orang lain? Kita dituntut untuk bercermin, bukan bertujuan
untuk bersolek namun untuk melihat apa yang telah terjadi pada diri kita.
Apakah nantinya kita tidak akan menyesal bila budaya kita diboyong secara
keseluruhan oleh mereka, dan kita diwarisi kebudayaan mereka yang belum tentu
sarat akan nilai-nilai yang luhur yang terkandung dalam kebudayaan kita. Sekali
lagi mereka tidak bisa kita salahkan, justru kita harus kagum kepada mereka
mengenai semangat belajar mereka. Namun jangan biarkan mereka mengeksplorasi secara
besar-besaran terhadap kebudayaan kita dengan cara kita lebih memperdalam
belajar budaya kita sendiri. Sehingga kita bisa mngfilter atau menyaring bila
ada yang ingin belajar budaya kita, dengan tidak memberikan secara mentah,
keseluruhan apa yang kita miliki. Mereka boleh saja bisa menguasai kulitnya,
namun jangan biarkan mereka menguasai intinya.